Rabu, 19 Juli 2017

Kawan Masa Kecil

Cuaca tak seperti biasanya, angin terasa lebih keras menampar wajah. Bahkan tamparan tersebut ada yang hinggap di sekujur badan. "Ah akan turun hujan sepertinya," gumam ku. Tak berselang lama, dari kejauhan ku pandangi langit lamat-lamat. Awan gelap pun mulai menghadap.

Lalu apa yang harus ku perbuat?. Tanpa pikir panjang, karena tak mau berduel dengan alam. Akhirnya ku putuskan untuk menepi, disalah satu warung langganan. 

Sekaligus mencoba menghangatkan badan.
"Kopi hitam satu ya mas," suara ku pelan kepada penjual kopi tersebut. "Siap mas bro, kopi hitam satu ya,? " Ujarnya, mencoba merevisi pesanan ku. Takut salah dengar mungkin. "Iya mas!," Jawab ku.

Kopi sudah dibuat, sambil menunggu pesanan datang aku nyalakan sebatang rokok, Ku sulut dengan api, dan ku hirup dalam-dalam agar bara keluar.

Tak berapa lama asap tipis mulai menyembul keluar. Seolah semua pikiran terbuang dengannya. "Sepi, ah coba hubungi yang lain," gumam ku. 

Saat tangan kiri mencoba mengambil telepon selular, kopi pesanan sudah datang. "Ini mas bro pesanannya," tanda dari penjual kopi itu. Aku membalasnya, hanya mengangguk tanda mengucapkan terima kasih.

Setelah itu, aktivitas yang sempat terhenti ku lanjutkan. Yakni mencoba menghubungi beberapa kawan lama. Jari jemari mulai beraksi, diatas layar telepon. 1,2,3 kata ku rangkai dan ku kirim.

Tak lama ada balasan dari sana. "Sek yo enteni, sek mangan,!" Balas kawan ku. Lantas aku pun membalas pesan tersebut, "ok,!" Hanya itu.

15 menit ku rasa, seorang kawan lama semasa duduk di sekolah dasar datang. Pria ini tampak tak berubah sama sekali!. Bertubuh tambun, dan tersenyum khas kepada ku. "Sorry luwe mau, mangan sek!," Alasannya. 

Lantas aku hanya membuang senyum, untuk menjawab alasan tersebut.
Pria tambun ini pun kemudian duduk didepan ku. Tak butuh waktu lama, kesunyian yang beberapa saat yang lalu lantas cair dengan obrolan ringan kami.

Membahas masa kecil kami. Sekaligus mencoba menerka-nerka, tingkah pola kami yang kadang bodoh dan konyol.
Ternyata obrolan cair ini bak es yang di guyur dengan air. Sedikit demi sedikit, es tersebut mencari, sama dengan mendung yang menggelayut sepanjang senja, beranggsur pergi. 

Berganti dengan suara jangkrik, yang terdengar samar.
Kawan ku ini lantas, memesan benda yang sama dengan ku. Yakni kopi hitam. 

Akhirnya, kopi hitam kepunyaan ku mendapatkan pasangannya. Dua gelas kopi ini, seakan ingin berduel untuk mencoba saling menjaga kehangatannya.
Tak hanya kopi, asap tipis yang ku hasilkan pun perlahan menebal. 

Akibat asap yang dihasilkan oleh pria tambun ini. "Sopo maneh iki sing teko,?" Brondongan pertanyaan mulai ia arahkan padaku. "Sek gak ngerti, koen hubungi sopo maneh loh," balas ku singkat.

"Iki onok arek telu maneh apene rene," jawabnya cepat. Lantas aku pun hanya mengangguk. 

Tak berselang lama, dari jauh terdengar suara motor yang semakin lama semakin jelas. "Wes sui ta nang kene,?" Sapa kawan ku lagi. "Sek tas kok, arek iki sing disikan tekone," saut pria tambun dengan menunjuk wajah ku. "Iyo lumayan," imbuh ku cepat.

Kawan ku kedua yang datang ini, tak banyak perubahan. Anaknya manis, tak terlalu tinggi dan tampaknya pekerja keras. Terlihat dari jemarinya yang menebal, mungkin banyak membawa barang berat.
Selain itu, sifat cerianya yang menghibur tampak masih sama. Sama seperti 12 tahun yang lalu, pada masa anak-anak. 

Keakraban melalui obrolan ringan, pun langsung meluncur dari mulut kita masing-masing. Hingga tak terasa 30 menit kami habiskan dengan, guyonan sarkas dan sedikit mengghibah.

Obrolan semakin larut, hingga akhirnya kawan ku yang ketiga datang. Kawan ku yang datang kali ini anaknya kalem, stylish​ dan bergaya parlente. Sambil mengenakan jaket, motor berwarna cerah. Ia tersenyum sambil turun dari motor. "Wes ket mau,?" Pertanyaan yang sama dengan kawan ku yang manis tadi. "Lumayan, wes ndang pesen," sergah si tambun.

Obrolan yang sempat terhenti rupanya berlanjut lagi. Masih sama yang kita bahas, membahas masa-masa indah di sekolah dasar. Hanya saja, kepulan asap semakin menebal. Itu saja bedanya. Kali ini jarak hadirnya kawan ku yang kalem berdekatan dengan kawan ku yang ke empat.
Kawan ku yang ke empat ini, datang dengan teman kerjanya. 

Dari perawakannya, ia banyak mengalami perubahan. Perutnya sedikit buncit, maklum mungkin baru saja menikah. Sehingga banyak waktu diurus dengan istri. Tampilannya rapi, berkemeja, bersepatu gunung dan memakai celana jeans. Gaya seorang pemimpin perusahaan besar, namun itu biasanya.

Kali ini dia hanya memakai kaos, celana dan sandal. "Hallo sorry telat," ucapnya meminta maaf dengan berjabat tangan pada kami bertiga. "Pak es satu,!" Suaranya lantang, "haus sepertinya," gumam ku lagi.

Kemudian terakhir datang lagi, kawan lama. Tak banyak perubahan dari dirinya. Masih kurus, hanya saja sekarang sedikit lebih tinggi. Ia juga sudah menikah, namun perawakannya masih sama. "Peseno es teh po o," ujarnya kepada ku.

Setelah semuanya lengkap, intensitas obrolan yang dibahas semakin deras mengalir. 

Jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya tak ada obrolan penting disana. Hanya guyonan khas kami, ketika berada disekolah dasar. Bahkan kawan ku si tambun ini, tertawa paling keras diantara kami berlima.

Penyebabnya adalah, kesan bodoh yang diekspresikan oleh kawan ku yang bergaya rapi. Ia selalu tampak lama, untuk diajak bicara. "Ha. . .?" Kata-kata itu sontak membuat gelak tawa kami pecah.

Saking lucunya, si tambun sampai pegal. "Wes,wes aku pegel ngguyu," ngakunya sambil memegang pingang. Merasa diatas angin, si bergaya rapi ini melanjutkannya kali ini ditambah gelak tawa dari si parlente dan si kurus. Aku hanya bisa melongo melihat, suasana kurang waras ini.

Namun suasana seperti ini, bak oase dipadang pasir. Kering dan butuh air, untuk segar kembali. 12 tahun kami terpisah, kemudian dipertemukan lagi. Dalam wujud yang sama, meskipun saat ini usia terus berkurang. Suasana inilah yang terkadang aku inginkan.

Klise. . . ? ? ?

Tidak. . .

Karena aku sangat rindu mereka.

Ah. . .

Andai saja beberapa kawan, khususnya cewek bisa se sering ini. Aku pastikan, akan semakin gila obrolan ini. Karena reuni sekali saja menurut ku kurang puas.

Memang tak baik jika terlalu sering bertemu, bisa over dosis jika kata dokter. Namun over dosis itulah yang aku inginkan. Over dosis dengan segala kekonyolan khas masa anak-anak.

Tapi saat ini dibungkus dengan tubuh dewasa.
Jangan bosan-bosan bergumul dengan ku kawan, canda, tawa, semangat serta motivasi masih sangat ku butuhkan. Semoga kalian pun begitu.

Ah sudahlah, tulisan ini disudahi saja. Karena masih banyak kenangan yang ada dalam pikiran ini. Mungkin dilain kesempatan aku dapat, menuangkannya kembali. (fit)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes